Asal-usul Desa Sungapan - Pemalang



 Sungapan adalah desa di kecamatan Pemalang, Pemalang, Jawa Tengah, Indonesia.Sekitar 4 Km ke arah tenggara dari Kantor Kec Pml. sungapan menurut kamus bahasa Indonesia artinya adalah tempat bertemunya sungai-sungai. dan secara kenyataan memang Desa Sungapan dikelilingi oleh Sungai yang mengalir dari arah selatan. Menurut cerita para sesepuh Desa Sungapan sudah berdiri sebelum masa kemerdekaan, dan pernah dijadikan ibukota Kabupaten Pemalang sementara, pada masa penjajahan belanda. Nama-nama Kepala Desa Sungapan : 1. Wanajaya - Masa Penjajahan 2. Wanaredja - Masa Penjajahan 3. Siyar - Masa Kemerdekaan s/d 1975 4. Sami'un - 1975 s/d 1998 5. Sunarpohadi - 1990 s/d 2006 6. Bambang Waluyo - 2007 sampai 2012 Sudah menjadi tradisi bahwa setiap pergantian Pimpinan/Kepala Desa di Sungapan, identik dengan sugesti bahwa jika pemimpin sebelumnya rumahnya menghadap ke selatan, maka bisa dipastikan calon penggantinya adalah yang rumahnya menghadap ke utara, begitu juga sebaliknya, Wallahu a'lam. Desa Sungapan memiliki 3 Dusun yang terbagi dalam 6 Rw dan 25 Rt batas-batas wilayah Desa Sungapan: Utara : Desa Saradan & Desa Jebed Selatan Timur : Desa Penggarit Selatan : Desa Pegongsoran Barat : kelurahan Paduraksa.
Sungapan. Sebuah desa yang diambil dari sebuah singkatan nama sungai yang panjang. Secara geografis desa ini membentang sungai yang mengaliri ladang pertanian masyarakat sekitar. Desa yang kaya akan sumber kekayaan alam. Hutan, tambang pasir dan bebatuan serta hasil-hasil perkebunan lainya.
Desa ini juga menyimpan beberapa cerita legenda tentang dunia mistik. Mulai dari kepercayaan akan kekuatan supranatural dan alam ghoib yang masih melekat. Tidak jarang kita bisa menjumpai sebuah ritual dari masyarakat. Yang biasa masyarakat menyebutkan dengan istilah “nyepi atau tirakat”.  Berbagai macam aliran kepercayaan juga masih bisa kita jumpai seperti aliran Sabta Dharma, Islam Kejawen atau Penganut Syeikh Siti Jenar atau masyarakat menyebutnya dengan nama Mbah Lemah Lanang atau Mbah Lemah Abang.
Konon ceritanya Syeikh Siti Jenar pernah singgah dan bertapa di desa ini. Dimana membuat warna dari tanah tempatnya melakukan pertapaan menjadi lemah abang (tanah merah). Dan sampai hari  ini pun tempatnya bertapa dalam istilah desa “napak tilasnya”, masih menjadi tempat rirual untuk masyarakat yang masih memepercayai dapat memberi sesuatu atas ritual-ritual yang dilakukan masyarakat setempat.
Selain memiliki kekuatan mistik yang kuat. Desa ini juga memilki pemandangan alam yang cukup eksotis dan indah. Aliran sungai yang membentang di tengah kampung dan terdapat beberapa tebing cukup indah untuk diabadikan sebagai dokumen kenangan. Ditambah lagi dengan jalan-jalan yang masih ditumbuhi tumbuhan yang masih hijau dan alami. Disertai dengan bangunan jembatan peninggalan pemerintahan Belanda. Yang konon cerita masyarakat, jembatan ini dibangun dengan menelan korban orang sebagai pondasinya (tumbal). Hingga banyak cerita aneh tentang makhluk ghoib yang gentayang. Hmm ngeri bukan, tapi tenang itu hanya mitos setempat, yang pasti desa indah pake bgt….
Kerukunan masyarakat setempat disini juga masih cukup kuat. Ini dapat dilihat dari setiap kali kegiatan masyarakat. Budaya acara gotong royong warga desa masih kita jumpai. Meskipun ada beberapa adat yang mulai ditinggalkan seperti pertemuan rutin masyarakat. Mungkin hal ini disebabkan masuknya budaya metropolis yang mulai menjakit keaslian adat kampung. Dolanan tradisional yang sewaktu kecil dapat saya jumpai kini juga sudah myulai punah. Seperti mobil-mobilan dari kayu, mainan dari tanah liat “lempung”, senapan kayu dan lain sebagainya yang tergantikan dengan game-game modern.
Bocah-bocah kini sudah bisa menikmati game dari hasil teknologi seperti play stasion, dan lain sebagainya. Jelas kemajuan ini berdampak positif dan negatif. Kalau jaman aku kecil anak-anak masih bermain petak umpet, kini beralih bermain mojok di tempat yang agak-agak gelapan. Kalao dulu ba’da magrib mengaji, kini yang ada nongkrong sambil bermain gitar di jembatan-jembatan desa. Ah kayaknya westernisasi masuk kampoeng nech…
Petak umpet, gobok sodor, patekong, kelereng, tendang kaleng, rok paron adalah permainan “dolanan” yang dulu rutin saya dan teman-temanku sewaktu kecil selalu aktif dimainkan. Apa lagi dikala bulan purmana yang menambah indah suasana malam di pedesaan. Namun permainan-permainan seperti ini kini juga nyaris telah punah. Padahal bila ditik dari pelajaran permainan ini dapat kita ambil pelajaran dan makna yang mendalam. Kerena permainan ini adalah permain team work yang mengajarkan tentang kerja sama yang juga berimbas pada suasana kekeluargaan dan semangat gotong royong pada masyarakat.
Apalagi bangsa indonesia adalah bangsa yang identik dengan semangat persatuan dan gotong royong. Jelas potensi ini seharusnya menjadi modal potensi desa yang seharusnya dikembangkan kembali, mengingat bangsa ini kini telah mengalami degradasi spirit persatuan dan gotong royong. Atau yang biasa kenal dengan budaya induvidulistik akibat gelombag globalisasi yang mulai menggurita sampai tataran masyarakat desa.
Sekian lama tak menikmati masa-masa indah di kala kecil. Membuat hati menjadi rindu untuk bernostagia kembali. Menikmati malam dengan lantunan lagu-lagu dolanan yang syarat makna, tau sekedar bermain yang mengajarkan Namun sayang semuanya hampir berubah. Kampung yang dulunya selalu ramai dengan obrolon-obrolan gotong royong dan suasana malam orang yang melakukanmakna persatuan seperti di atas. Ataupun aktifitas rutin seperti ronda atau jaga malam, yang kini pun tidak Nampak lagi. Apakah ini maksud dari future shocke akibat dari gelombang perubahan yang dasyat?
Perkembagan ilmu dan pengetahuan dan teknologi jelas suatu hal yang dapat dielakan. Karena dengan ini pula membuat manusia senantiasa berfikir kearah kemajuan. Namun yang disayangkan justru membuat manusia menjadi teralienasi dari hakekat sebagai manusia. Orientasi hidup sering terjebak dalam budaya pragmatisme yang hanya mengejar materi dan bukan substansi dari hakekat kehidupan, yakni kebahagian yang abadi. Di sini ada kerinduan sekaligus keresahan melihat desa yang seharusnya menjadi potensi pembagunan dan persatuan nasional. Sebab demokrasi dalam makna yang subtansial seperti yang diutarakan Hatta adalah sebuah entitas bangsa yang lahir dari masyaraakat desa. Ini sungguh ironi, ketika masyarakat desa justru malu mengaku menjadi anak desa.
Tetapi dalam paradigma untuk melihat fungsi pendidikan sudah mengalami kemajuan yang cukup berarti. Dahulu masyarakat tidak mengenal pena dan buku, namun kini sudah mulai mengenal. Meskipun sayangnya orientasi pendidikan yang ada pun tidak untuk fungsi dari nilai kemanusian, namun cenderung untuk bagaimana mendapatkan ijasah dan sebagai formaliatas menjadi pegawai negeri. Ini dilema kebanggaan dan kesedihan tersendiri, Lulusan sarjana-sarjana muda mulai bertambah banyak. Bisa dikatakan sebagai peluang membagun desa namun juga bisa dikatakan sebagai tantangan sekaligus hambatan sebab mereka justru menjadi kelas-kelas baru yang terasingkan atau mereka sendiri yang mengasingkan dirinya. Aneh tetapi ini adanya….
Sekedar harapan: sebagai generasi muda memiliki tugas dan tanggung jawab untuk berpatisipasi dalam membangun desa. Mewujudkan nilai budaya gotong royong kampung sebagai budaya menanamkan nilai persatuan dan kemandirian dalam bidang ekonomi, intelektual dan spiritual dalam mewujudkan apa itu yang dikatakan “Masyarakat Madani”. Karena kuatnya suatu bangunan dapat dilihat dari bagaimana pondasinya. Jelas dalam logika bangunan pencakar langit, maka desalah yang memiki potensi ke arah itu. Melaui pendidikan emansipasi dan partisipatoris serta revitalisasi value budaya desa kita akan memulai membagun bangsa ke depan.
Dan Desa sungapan adalah harapan. Karena kita dapat lihat suatu nilai-nilai itu masih ada melekat, namun belum ada yang mampu membangunkanya kembali.Apalagi electoral politi dan money politik dalam pemilihan kepala desa menjadi satu bahaya laten yang telah menjangkit dan merusak nilai itu. Namun ini bukan kendala berarti jika komponen tokoh agama, masyarakat, pemuda dan perangkat desanya memiliki mainstream yang sama untuk menanta desa melalui lokal wisdom masyarakat desa. Semoga inilah cita-cita sederhana anak desa yang sedang berproses.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH NASKAH DRAMA BAHASA JAWA

SEJARAH DESA PENGGARIT