SEJARAH DESA PENGGARIT




Dalam sejarah, kita tahu, Pengeran Benowo adalah salah satu anak Raja Hadiwijaya atau Jaka Tingkir dari Pajang. Masyarakat Pemalang dewasa ini barangkali tidak tahu latar belakang kenapa Pangeran Benowo yang merupakan anak Sultan Pajang itu dikuburkan di Desa Penggarit.

Berkembangnya minat pada sejarah lokal membuat keberadaan makam di Desa Penggarit yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai Makam Pangeran Benowo itu menarik untuk ditelusur kembali. Bukan hal aneh jika penelusuran kembali pada situs-situs budaya dan sejarah ini selain bertujuan untuk lebih mengenal segala hal yang menjadi kekayaan budaya lokal juga berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi dan pariwisata.
Menurut mitos yang banyak dipercayai orang, keberadaan Makam Pangeran Benowo di Desa Penggarit dilatarbelakangi oleh pencarian pusaka Keris Sitapak.


Pusaka ini dimiliki Tunggul Wasesa Palawangan yang bermukim di Desa Palawangan dekat Pantai Widuri. Kerajaan Pajang memerlukan keris pusaka Sitapak dalam upaya memenangi perang ”Konjana Papa”, yaitu perang antara ayah dan anak dalam memperebutkan takhta kerajaan. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa di kerajaan Pajang mengadakan peperangan dengan Sutawijaya yang merupakan anak angkat karena Sutawijaya ingin menjadi pewaris Kerajaan Pajang sementara Sultan Hadiwijaya ingin menyerahkan kerajaan pada anak sulung.

Pangeran Benowo yang merupakan anak sah Sultan Hadiwijaya, meskipun bukan anak sulung atau Putra Mahkota, tentu membela kedudukan ayahnya. Ia diberi tugas untuk mendapatkan pusaka yang dimiliki oleh Tunggul Wasesa sehingga rela melakukan perjalanan jauh dari Pajang hingga ke Palawangan selain bisa memenangkan peperangan.

Keris Pusaka

Ketika sampai di Palawangan, bertemulah ia dengan Tunggul Wasesa dan mengutarakan sebab kedatangannya. Tunggul Wasesa berkata bahwa ia tidak meminjamkan senjata pusaka itu, namun sekalian memberikannya dengan syarat bahwa ia bisa mengangkat pusaka itu dan menikahi anaknya yang bernama Dewi Urang Ayu. Ia ingin menguji apakah Pangeran Benowo betul-betul ingin mendapatkan pusaka itu dan menjalankan darma bakti pada orang tua meskipun harus menikah dengan seorang perempuan yang tidak cantik.

Ternyata keris pusaka Sitapak dengan sangat mudah diangkat oleh Pangeran Benowo. Para hadirin yang melihat peristiwa itu sontak bersorak-sorai. Pangeran Benowo berjanji akan menikahi Dewi Urang Ayu kalau ia sudah menjalankan darma bakti membela Sultan Hadiwijaya dalam peperangan. Tapi Kerajaan Pajang kalah perang dengan Sutawijaya yang berkuasa di Kota Gedhe. Mendengar berita kekalahan itu, Pangeran Benowo kecewa. Hasil kerja kerasnya sia-sia belaka.

Diliputi kemarahan, tanpa sadar ia membanting keris pusaka Sitapak ke sebuah pohon nagasari besar sehingga pohon itu seketika saja tumbang hingga ke akar-akarnya. Pusaka Sitapak tertancap pada pohon dan tidak ada seorang pun yang bisa mencabutnya. Pangeran Benowo dan pengikutnya lalu memutuskan bertempat tinggal di situ.

Kekecewaannya membuat ia melupakan janji pada ki Tunggul Wasesa Palawangan untuk menikahi Dewi Urang Ayu. Ia tinggal di tempat itu dan hidup sebagai kawula alit.

Untuk kepentingan makan ia mencari ikan lele di kali dekat pohon tumbang. Tapi ia tak bisa menutupi kegundahan pada sosok Dewi Urang Ayu. Melihat kekecewaan dan patah hatinya karena tak menikahi dewi Urang Ayu orang-orang menyebut keadaan Pangeran Benowo dengan istilah Grogek atau ”Patah hati”.

Dan sungai tempat ia mencari ikan dinamai Kali Grogek. Di Kali Grogek ada tempat bernama Jamban Ndalem, tempat mandi raja. Jamban Ndalem sendiri adalah bagian Kali Grogek yang terdalam, bahkan ada gua dalam kali yang menjorok ke Candi Penggarit.

Setelah mengatasi segala kekecewaan hidupnya ia menemui ki Tunggul Wasesa Palawangan dan Dewi Urang Ayu. Diadakanlah pernikahan sederhana antara Pangeran Benowo dan Dewi Urang Ayu.

Dari perkawinan itu mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki dan perempuan, yaitu Joko Genteng yang diasuh oleh Ki Gedhe Kesesi dan Gandasari yang diasuh oleh Ki Gedhe Ampel Gading.

Pada masa tuanya Pangeran Benowo meninggalkan kehidupan duniawi dan memutuskan untuk bertapa. Salah satu pengikut Pangeran Benowo, yaitu Mbah Kemis hijrah ke Desa Cibelok. Hanya Jamur Apu yang setia mengikuti Pangeran Benowo dan mendampingi dalam melakukan tapa brata.

Makam Benowo

Hingga sekarang masyarakat di sekitar Pemalang percaya bahwa makam tua di Desa Penggarit dekat pohon besar di Kali Grogek itu adalah Makam Pangeran Benowo. Sampai 1950-an, di Makam Pangeran Benowo masih terpajang tulisan dengan huruf Jawa yang berbunyi kurang lebih: ”Yen Ngabekti den nastiti ngati-ati marang Gusti. Aja lali para Wali kang supadi antuk panganggep ingsun.”

Namun sekarang keberadaan papan itu entah di mana. Sejarah asal mula Desa Penggarit saja kini mulai dilupakan orang. Tempat yang dulu setiap lebaran ramai dikunjungi orang baik untuk berwisata maupun untuk tetirah kini tak terurus baik oleh pemerintah daerah maupun oleh para penduduk di sekitar makam itu.

Tentu saja sejarah lokal semacam ini menarik untuk ditelusuri kembali, bukan hanya untuk mengungkap kebenaran cerita dan mitos yang simpang-siur, namun juga untuk lebih memberikan identitas yang jelas pada masyarakat Penggarit khususnya dan masyarakat Pemalang pada umumnya. Usaha ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat sejarah namun juga oleh pemerintah daerah dan masyarakat pada umumnya.

Sejarah adalah kaca benggala, cermin bening yang bisa menjadi tempat yang sesuai bagi kita berkaca dan menilai siapa diri kita sebenarnya, siapa nenek moyang kita, dan bagaimana kita harus menghargai warisan nenek moyang itu dengan sebaik-baiknya. Yang lebih penting, mitos juga memberikan arahan hidup bagi kita dalam menyikapi masa depan dengan bijak, tak sekedar mengikuti arus yang tak tahu kemana akan berujung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH NASKAH DRAMA BAHASA JAWA

Asal-usul Desa Sungapan - Pemalang